EKSEKUSI
PUTUSAN CERAI TALAK DAN IMPLIKASI
HUKUMNYA TERHADAP HARTA BERSAMA
Oleh
: Drs. H. Sudono, M.H.*)
PENDAHULUAN
Kekuasaan
absolut Pengadilan Agama berdasarkan pasal 49 Undang-Undang nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas Undang_undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan teakhir telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa,
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang, a.
Perkawinan, b. Waris, c. Wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. Infaq, h.
shodaqoh, dan i. Ekonomi syari’ah.
Dalam
penjelasan pasal 49 UU.No.3/2006 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bidang
perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasaarkan UU. Perkawinan
yang berlaku, yang dilakukan menurut syari’at antara lain, tentang” Penyelesaian
Harta Bersama” . Undang-undang telah memberikan jaminan hukum tentang keutuhan dan keselamatan harta
bersama ,dan bila terjadi masalah yang menyangkut harta bersama masing-masing
pihak baik suami atau istri, baik masih dalam ikatan perkawinan maupun setelah
terjadi perceraian, masing-masing dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama baik
melalui gugatan tersendiri maupun melalui gugatan rekonpensi. Karena ruang
lingkup harta bersama sangat luas terutama sejak diundangkannya UU.No.3/2006 tentang perubahan atas
UU.No.7/1989 tentang Peradilan Agama ,wewenang dan kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas dimana tadinya hanya 22 item, sekarang
menjadi 41 item.
Dilingkungan
Peradilan Agama terdapat dua istilah cerai, yaitu cerai talak dan cerai gugat,
yang keduanya dapat direkonpensi dengan harta bersama.Akan tetapi pada saat Pengadilan Agama memutus perkara
cerai gugat yang direkonpensi harta bersama, tidak ada kesulitan eksekusi dan
tidak ada halangan hukum bagi tergugat (suami) untuk memohon dan memperoleh hak-haknya. Sebaliknya dalam
perkara cerai talak yang direkonpensi dengan
harta bersama , Penggugat rekonpensi (istri) dibenturkan kepada
persoalan kesulitan eksekusi dengan alasan suami tidak mau mengucapkan ikrar
talak padahal putusan ijin ikrar talak sudah berkekuatan hukum tetap. Disamping
itu istri terbentur dengan ketentuan normatif yang ditunjukkan oleh pasal 70
ayat (6) UU.No. 3/2006 tentang perubahan atas UU.No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama, yang menyebutkan “ Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak
ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
atau mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut,
maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan
lagi berdasarkan alasan yang sama. Putusan carai talak yang sudah berkekuatan
hukum tetap menjadi kebenaran hukum bagi para pihak yang berperkara dan
mempunyai nilai pembuktian yang bersifat
“sempurna” (Valledig, “mengikat” ( bindede), dan “memaksa”
(dwingend).Bahkan sekalipun ada dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung, tidak terhalang untuk di eksekusi.
Dalam
beberapa kasus pada putusan cerai talak yang direkonpensi dengan harta bersama,
Penggugat rekonpensi (istri) merasa kesulitan untuk memperoleh hak-haknya atas
pembagian harta bersama karena Pemohon (suami)
belum mengikrarkan talak. Oleh karena itu pihak Termohon (istri) menyatakan
keberatannya dengan alasan, Kenapa putusan tersebut tidak di eksekusi,
padahal sudah berkekuatan hukum tetap.
Sebagai
gambaran bahwa, suami istri yang masih terikat dalam suatu perkawinan saja ,
harta bersama dapat dipisahkan berdasarkan dugaan pada perbuatan yang
membahayakan harta bersama diluar proses perceraian (lihat pasal 186 KUH
Perdata) dan SEMA No. 3 tahun l963 tanggal 06 september l963 dengan mengajukan
marital beslag dan sejalan pula dengan pasal 95 Kompilasi Hukum Islam, yang
menyatakan “Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf (c)
PP. No.9/1975 dan pasal 136 ayat
( 2 ) , suami atau istri dapat meminta pengadilan Agama untuk meletakkan sita
jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai ,apabila salah
satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan
sebagainya”. Apalagi kalau sudah
nyata-nyata antara suami istri sudah tidak mungkin hidup rukun kembali , maka
salah satu cara untuk menyelamatkan harta bersama yang menjadi hak Penggugat
rekonpensi (istri) maka mutlak harus dipertimbangkan oleh hakim dengan mengabulkan eksekusi harta
bersama, apalagi pada saat Penggugat rekonpesi mengajukan gugatan
rekonpensi harta bersama disertai dengan mengajukan permohonan sita jaminan
(conservatoir beslag ) , disamping itu tujuan diundangkannya UU.No. 3/2006 maupun UU.No. 1/l974 antara lain adalah untuk
melindungi hak-hak istri.
Oleh
karena selama ini mungkin belum ada Pengadilan Agama yang mengabulkan
permohonan eksekusi harta bersama atas putusan cerai talak yang direkonpensi
harta bersama, dimana putusan tersebut
telah berkekuatan hukum tetap akan tetapi Pengadilan Agama tidak berani
mengabulkan permohonan eksekusi harta bersamanya dengan alasan Pemohon dan
Termohon secara yuridis masih terikat dalam perkawinan (belum bercerai). Dan
sangat mendesak untuk dicarikan solusinya. Adapun yang menjadi masalah dalam
tulisan ini adalah ‘BAGAIMANAKAH PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA DALAM
MENGEKSEKUSI HARTA BERSAMA ATAS PUTUSAN CERAI TALAK YANG TELAH BERKEKUATAN
HUKUM TETAP PADAHAL PEMOHON TIDAK MAU MENGUCAPKAN IKRAR TALAK TERHADAP
TERMOHON’.
Karena itu menghadapi persoalan cerai talak
yang direkonpensi dengan harta bersama dalam eksekusinya, bukan saja
menyelesaikannya dengan ketentuan hukum acara yang terdapat dalam UU.No. 3/2006
tetapi Hakim harus berani melakukan
CONTRA LEGEM dengan mengesampingkan ketentuan pasal 70 ayat (6) UU.No. 3/2006 dan khusus mengenai eksekusinya
berkiblat kepada penerapam pasal 54 UU.No.3/2006 bahwa hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum , kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini, dan untuk tercapainya azas
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
A. MENERAPKAN
HUKUM EKSEKUSI BUKAN HUKUM KASUS
Dalam keadaan yang normal begitu putusan
ijin ikrar talak sudah berkekuatan hukum tetap maka Pemohon dipanggil untuk
sidang penyaksian ikrar talak, akan
tetapi pada hari persidangan yang telah ditetapkan ,Pemohon tidak mengkirarkan
talaknya, karena semata-mata untuk mangkir terhadap putusan Pengadilan Agama
yang mengabulkan gugatan rekonpensi harta bersama, karena selama ini harta
bersama dinikmati dan dikuasai oleh Pemohon.
Ada paradigma yang mengatakan “TIDAK ADA
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA KALAU TIDAK ADA PERCERAIAN’, kalau paradigma tersebut
dipertahankan , maka jawabannya mudah yaitu eksekusi ditangguhkan sampai
Pemohon (suami) mengucapkan ikrar talak, atau permohonan eksekusi ditolak
dengan alasan Pemohon belum mengikrarkan talak .Cara seperti ini berarti tidak
menyelesaikan masalah , padahal diluar
proses perceraian memungkinkan harta bersama dapat dibagi berdasarkan adanya
dugaan yang membahayakan keutuhan harta bersama tersebut.Oleh karena itu solusi
yang tepat yaitu dengan menerapkan hukum eksekusi, apabila putusan ijin ikrar
talak telah berkekuatan hukum tetap, sedang pihak yang dibebani prestasi tidak
menjalankan putusan secara sukarela, maka putusan harus dijalankan secara
paksa, kalau perlu dengan bantuan extra yudicial ( Tim PPHIM,WIL.PTA.
Makassar,2005 : 120).
Suatu Putusan Pengadilan yang menetapkan
status hukum bagi seseorang terhadap barang yang dipersengketakan ( harta
bersama) , memiliki arti yang besar baginya. Akan tetapi apabila kemudian
ternyata bahwa putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka nilai putusan itu akan
berbalik menjadi tidak ada artinya. Demikian halnya kemenangan yang diperoleh
Penggugat rekonpensi (istri) akan
menjadi sirna baginya, apabila ternyata pada saat akan dilaksanakan sudah tidak
dapat ditemukan lagi, baik karena sudah berpindah tangan atau karena sebab
lainnya .
Umar Bin Khatab RA. Dalam suratnya kepada
Abu Musa Al Asy’ari menyatakan bahwa suatu kebenaran (putusan hakim) yang tidak
dilaksanakan tidak ada gunanya, ini berarti bahwa puncak serta inti dari proses
berperkara adalah pelaksanaan putusan hakim (eksekusi ) .Penggugat (istri)
mengajukan gugatannya ke Pengadilan bukan hanya mengharapkan putusan yang
menguntungkan baginya akan tetapi bahwa putusan itu akhirnya dapat dilaksanakan
( Taufiq, 1993 : V ).
Juga salah satu tugas pokok yang diserahkan
kepada Badan-Badan Peradilan, termasuk
didalamnya Badan Peradilan Agama dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah
mengadili dan menyelesaikan perkara. Pengertian dari mengadili adalah tidak
dapat lain dari pada menjatuhkan putusan, sedang pengertian menyelesaikan dalam
hal ini adalah pelaksanaan dari pada putusan itu sendiri yang lazimnya disebut eksekusi .
Bukankah maksud dan tujuan hukum itu memelihara ketertiban dan menegakkan
keadilan . Tidak ada gunanya suatu peraturan perundang-undangan atau keputusan Hakim
jika keputusan itu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya ( Hilman
Hadikusuma, l983 : 130 ). Oleh karena hukum eksekusi yang diterapkan , maka
dalam hal ini harus mengacu kepada ketentuan pasal 195 sampai 224 HIR atau
pasal 206 sampai 258 RBg. Dan juga berlaku pasal 225 HIR atau 295 RBg.
Kalau dikaitkan dengan aturan eksekusi dalam UU.No.3/2006
pasal 70 ayat (3), (4) , (5), dan (6),
maka untuk mencermati pasal tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa aturan
hukum eksekusi yang terdapat dalam UU.No.3/2006 tersebut tidak dapat
diberlakukan terhadap kasus dalam perkara cerai talak yang direkonpensi dengan
harta bersama. Dimana pasal 70 UU.No.3/2006 diperuntukkan terhadap aturan cerai
talak yang tidak ada rekonpensi harta bersama. Sedangkan untuk eksekusi harta
bersama tunduk pada aturan eksekusi yang terdapat dalam HIR atau RBg. Sebab
kalau terjadi masalah gugatan rekonpensi dari istri tentu akan kesulitan
eksekusi, bila suami tidak secara sukarela melaksanakan isi putusan Pengadilan.
Jika dicermati dalam UU.No.3/2006 secara formal tidak ditemukan tentang gugatan
rekonpensi, yang ada adalah penggabungan tuntutan perkara cerai talak dengan
masalah penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama.Jadi yang
memohon adalah suami bersama-sama dengan permohna talaknya (pasal 61 ayat (5)
UU.No3/2006. Demikian pula pasal 86 ayat (1) UU.No.3/2006 hanya mengatur
penggabungan gugatan cerai dengan gugatan soal penguasaan anak, nafkah istri dan
harta bersama ( Kholidur Azhar, dalam Mimbar Hukum No. 32 : l997 :77).
Kalau demikian berarti ada kekosongan hukum
dalam UU.3/2006., dan kekosongan hukum tersebut telah diisi oleh Mahkamah Agung
dengan putusannya nomor 113 K/AG/l992 dimana telah dibenarkan adanya gugatan
rekonpensi dalam perkara permohonan cerai talak , M. Yahya Harahap ( 1993 : 226
) mengatakan bahwa penggabungan perkara cerai talak rekonpensi harta bersama
pada prinsipnya didasarkan melalui pendekatan tujuan pembaharuan hukum dan perlindungan
kepada pihak termohon (istri).
B. PERTIMBANGAN HUKUM DALAM MENGABULKAN
EKSEKUSI
Tindakan
hukum untuk menyelamatkan harta bersama :
Suami istri dalam kehidupan rumah tangga
adalah seimbang dan setara. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam pasal
31 ayat (1) UU.No. 1/1974 tentang perkawinan, bahwa hak dan kedudukan istri
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan lagi, Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
Yang dimaksud perbuatan hukum disini
adalah bagaimana istri mempertahankan hak-hakya, termasuk hak untuk memperoleh
bagian dari harta bersama melalui
gugatan rekonpensi pada saat suami mengajukan permohona cerai talak. Dan pada
saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, Penggugat rekonpensi (istri)
mengajukan eksekusi atas harta bersama kepada Ketua Pengadilan Agama, disaat
Pemohon (suami) tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela atas putusan
Pengadilan, maka diperlukan tindakan hukum guna melindungi hak-hak istri agar
hak-hak yang telah diperolehnya tidak hampa karena puncak serta inti dari
proses perkara adalah pelaksanaan putusan hakim. Oleh karena itu untuk
menyelamatkan harta bersama menurut penulis diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
Termohon
mengajukan sita harta bersama (sita marital ) :
Istilah sita harta bersama ( sita
marital) telah dipakai oleh Sudikno Mertokusumo, yang berasal dari marital
beslag, disebut juga matrimonial beslag adalah membekukan harta bersama suami
istri melalui penyitaan, agar tidak pindah kepada pihak ketiga selama proses
perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Dengan adanya penyitaan
harta bersama baik Penggugat rekonpensi atau Tergugat rekonpensi dilarang
memindahkannya ke pihak lain dalam segala bentuk transaksi. Tindakan penyitaan
harta bersama diatas fungsinya adalah untuk mengamankan atau melindungi
keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggungjawab
dari Tergugat rekonpensi. Tindakan untuk mengamankan dan melindungi keberadaan
harta bersama dimaksud didasarkan pada peraturan perundang-undangan yaitu :
a.
Pasal l90 KUH Perdata yang menyatakan : Sementara
perkara berjalan, dengan ijin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan
untuk menjaga harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.
b.
Pasal 24 ayat
(2) huruf (c) Peraturan Pemerintah Nonor 9 tahun l975 : Pasal ini menegaskan ,
selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau Tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya
yang mungkin timbul Pengadilan dapat mengijinkan dan menentukan hal-hal yang
perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami istri. Dari redaksi ketentuan ini lebih tegas dari pasal 190 KUH Perdata,
karena didalamnya terdapat perkataan lebih menjamin terpeliharanya harta
bersama, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama bermaksud
mengamankan keberadaan dan keutuhan harta bersama. Tentang sejauh mana tindaan
pengamanan yang diamanatkan sita harta bersama, dapat berpedoman pada ketantuan
pasal 823 Rv yaitu berdasarkan azas kepentingan beracara (process doelmatigheid
) yang menurut pasal ini tindakan pengamanan meliputi : penyegelan, pencatatan,
penilaian harta bersama dan penyitaan harta bersama. Dengan demikian apabila
ada pensitaan marital, proses yang harus ditempuh meliputi tahapan-tahapan
diatas ( M. Yahya Harahap, 2006 : 369 ).
c.
Pasal 78 huruf (
c ) UU.No.3/2006 ,yaitu Undang-undang tentang Peradilan Agama, dimana dilingkugan
Peradilan Agama telah memiliki hukum positif tentang lembaga harta bersama
(sita marital) , bahkan sita tersebut tidak hanya diatur dalam pasal 78 tetapi
juga diatur dalam pasal 136 ayat (2) huruf (b)
Kompilasi Hukum Islam, yang sama bunyi redaksinya dengan pasal 24 ayat
(2) huruf (c) PP.No.9/1975 dan pasal 78 huruf (c) UU.No. 3/2006. Dengan
demikian landasan penerapan sita harta bersama dalam lingkungan Peradilan Agama
telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya
dalam hal Pemohon yang telah diberi ijin oleh Pengadilan untuk mengucapkan
ikrar talak terhadap Termohon, kemudian Pemohon tidak datang/ tidak mau
mengcapkan ikrar talak terhadap termohon, maka pemahaman pasal 70 ayat (5) dan
(6) UU. No.3/2006 tersebut tidak boleh
diperluas pemahamannya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan gugatan
rekonpensi, akan tetapi terbatas pada cerai talak murni karena tindakan hukum
eksekusi terhadap putusn yang member ijin ikrar talak kepada Pemohon merupakan
tindakan hukum ex officio. Sebagaimana telah dijelaskan diatas maka pesidangan
penyaksian ikrar talak merupakan tindakan ex officio, sedang menjalankan
putusan dalam penghukuman terhadap suami untuk membagi harta bersama adalah
merupakan tindakan eksekusi riil sebagaimana telah diatur dalam pasal 196 HIR
atau 207 RBg, yang harus didahului dengan adanya permintaan dari pihak yang
dimenangkan. Pemohon yang tidak mengucapkan ikrar talak tersebut tidak
mempengaruhi adanya permohonan eksekusi dari pihak Termohon ( istri ) , melainkan
dari pihak Pemohon sendiri yang sengaja ingin menikmati harta bersama secara
leluasa yang selama ini memang penguasaan harta bersama berada pada Pemohon .
Jadi tidak dilaksanakannya pengucapan ikrar talak oleh Pemohon tidak
menyebabkan putusan menjadi batal, tetapi hak Pemohon untuk mengucapkan ikrar
talak menjadi gugur kekuatan penetapan tersebut ( pasal 70 ayat ( 6 )
UU.No.3/2006.
d.
Pasal 823 Rv,
yang berbunyi : Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan oleh pasal 190 KUH
Perdata adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian
barang-barang, penyitaan jaminan atas barang-barang bergerak bersama atau
jaminan atas barang-barang tetap bersama. Pasal ini merupakan salah satu
diantara beberapa pasal lainnya yang mengatur sita marital, yang diatur mulai
pasal 823 – 830 Rv. Karena sita marital dalam Rv sangat luas, sebaliknya dalam
UU.No. 1/1974 dan PP.No.9/1975 hanya terdiri satu pasal, sedangkan dalam
HIR/RBg sama sekali tidak disinggung. Jadi untuk memenuhi azas kepentingan
beracara (process doelmatigheid ) maka pasal-pasal diatas dapat digunakan
sebagai pedoman untuk melaksanakan sita marital yang komprehensif.
Penerapan
Sita Harta Bersama :
Penerapan lembaga sita marital tidak
hanya terbatas pada perkara gugatan perceraian akan tetapi dapat diperluas
penerapanya pada sengketa yang timbul diantara suami istri yaitu :
a.
Pada
perkara perceraian
Apabila terjadi pada perkara
perceraian antara suami istri hukum memberi perlindungan kepada suami atau
istri atas keselamatan dan keutuhan harta bersama, caranya dengan meletakkan
sita jaminan diatas seluruh harta bersama untuk mencegah perpindahan harta itu
kepada pihak ketiga. Pasal 190 maupun pasal 125 KUH Perdata, hak untuk
mengajukan sita marital hanya diberikan kepada istri.Hal ini sesuai dengan
latar belakang yang digariskan pasal 105 KUH Perdata yang memberikan kedudukan
marital macht ( kepala persekutuan ) kepada suami dan sekaligus memberi hak dan
wewenang kepada suami mengurus dan
menguasai harta kekayaan bersama dan harta istri dalam perkawinan. Berarti
dalam prakteknya penguasaan harta
bersama berada ditangan suami. Oleh karenanya layak dan sejalan memberi hak
kepada istri meminta sita marital agar suami tidak leluasa menghabiskan harta
bersama selama proses perkara masih berjalan. Sehingga berdasarkan versi yang
digariskan KUH Perdata tersebut tidak ada alasan memberi hak kepada suami
meminta sita marital, karena harta bersama seluruhnya berada di tangan suami
sendiri.
Berdasarkan pasal 24
PP.No.9/1975 secara tegas memberikan hak kepada suami atau istri mengajukan
sita harta bersama dan tidak menjadi soal siapa yang bertindak sebagai
Penggugat, sama-sama berhak meminta sita marital. Dengan demikian dasar
permintaan sita, bukan factor kedudukan sebagai Penggugat tetapi pada factor
siapa yang menguasai harta bersama.Karena seluruh harta bersama berada dalam
penguasaan suami maka cara yang ditempuh
Penggugat yaitu mengajukan gugatan rekonpensi yang berisi tuntutan pembagian
harta bersama dan tuntutan itu dibarengi dengan permintaan sita harta bersama
atas seluruh harta tersebut.
b.
Pada
perkara pembagian harta bersama
Kalau Tergugat tidak mengajukan
gugatan rekonpensi pada saat proses
perkara perceraian berlangsung maka
Tergugat dapat mengajukannya tersendiri setelah perceraiannya diputus oleh
Pengadilan. Karenanya apabila mantan suami atau istri ingin membagi harta
bersama, hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata tentang gugatan harta
bersama, dan untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama
proses perkara masih berlangsung, hanya dengan meletakkan sita marital
diatasnya.
c.
Pada
perbuatan membahayakan harta bersama
Sita marital yang diatur dalam
UU.No. 1/1974 dan PP. No. 9/1975 seakan-akan terjadi pada saat perkara perceraian
atau pembagian harta bersama, padahal jika berorientasi pada ketentuan hukum yang
ada maka Sita harta bersama dapat diterapkan penegakannya diluar proses perkara
perceraian atau pembagian harta bersama, oleh karena itu dimungkinkan
menerapkannya diluar proses perkara apabila terjadi tindakan yang membahayakan
keberadaan harta bersama.
Untuk memperluas pemahaman
tersebut dapat berpedoman kepada pasal 186 KUH Perdata yang telah dimodifikasi
sebagai hukum adat tertulis dan sesuai semangat SEMA No.3/1963, tanggal 6
September l963, Himpuna SEMA dan PERMA tahun 1951 – 1997 halaman 86 yang
menurut pasal 186 KUH Perdata yaitu :
Selama perkawinan berlangsung suami atau istri dapat mengajukan
permintaan sita marital kepada hakim berdasarkan alasan bahwa harta bersama
dalam keadaan bahaya karena : (1) Adanya tindakan/perbuatan suami atau istri
yang nyata-nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan akibat bahaya
keruntuhan keluarga dan rumah tangga.(2) Tidak adanya ketertiban dalam mengelola
dan mengurus harta bersama yang dilakukan suami atau istri yang dapat
membahayakan eksistensi dan keutuhan harta bersama. Malahan dalam hukum adat pun
dibenarkan penyitaan yang dilakukan sebungan dengan telah terjadinya perceraian
adalah sita conservatoir (Retno Wulan Sutantio dkk. 1997 : 106-107 ).
Jadi
menurut ketentuan pasal 186 KUH Perdata tersebut memberikan hak kepada istri
untuk :
1.
Melakukan
marital beslag diluar gugatan perceraian.
2.
Mengajukan
permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih utuh untuk :
apabila kelakuhan suami secara nyata telah memboroskan harta kekayaan yang bisa
mendatangkan mala petaka kehancuran rumah tangga. Juga termasuk apabila cara
pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib,sehingga tidak terjamin keselamatan
dan keutuhan harta kekayaan tersebut.
Aruran diatas tidak dijumpai
dalam UU.No. 1/1974 maupun dalam PP.No.9/1975 ,padahal aturan seperti ini
sangat penting guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi
dan melindungi keutuhan harta bersam pada segi yang lain . Bahkan ( M. Yahya
Harahap , 1990 ) kelalaian pembuat Undang –Undang mengatur hal yang demikian,
merupakan hambatan bagi istri membela haknya terhadap suami yang boros dan
berkelakuan tidak baik. Karena untuk mengajukan marital beslag hanya dapat
diperkenankan apabila ada sengketa perceraian.Anggapan yang demikian adalah
tidak tepat , sekalipun UU.No.1/1974 dan PP.No.9/1975 tidak mengaturnya, bukan
berarti dilarang melakukan marital beslag dan pemeriksaan harta perkawinan
diluar perceraian, apabila secara nyata salah satu pihak bertindak boros dan
tidak tertib mengurus harta kekayaan bersama. Pengadilan dapat mempedomani
ketentuan pasal 186 KUH Perdata sebagai aturan hukum pemisahan harta perkawinan
diluar perceraian. Dan ternyata ketentuan dalam pasal 186 KUH Perdata diatas telah tertampung dalam pasal 195
Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan : Suami atau istri dapat meminta sita
harta bersama tanpa adanya gugat perceraian, hal itu dapat diminta apabila
suami atau isri melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta
bersama, seperti perjudian, pemborosan dan sebagainya.
Dengan memperhatikan pasal 186
KUH Perdata dan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam, dimungkinkan meminta harta
bersama diluar sengketa perkara perceraian maupun pembagian harta bersama.
Tanpa perkara apapun suami atau istri dapat mengajukan permintaan sita harta
bersama kepada Pengadilan secara berdiri sendiri tanpa tergantung pada perkara
.Dengan demikian permintaan itu tidak mutlak bersifat assesoir kepada gugatan
cerai atau pembagian harta bersama.
Ditinjau dari segi hukum dan
keutuhan kehidupan rumah tangga, permintaan sita marital yang berdiri sendiri
tanpa digantungkan pada perkara perceraian atau harta bersama, dianggap
bermanfaat, oleh karenanya sangat beralasan dan realistis memberi hak kepada
istri mengajukan permintaan sita marital dengan ketentuan istri dapat
membuktikan tindakan pemborosaan yang dilakukan oleh suaminya. Sebagai
landasanya Pengadilan berpedoman pada ketentuan pasal 186 KUH Perdata dan pasal
195 Kompilasi Hukum Islam dalam menerapkan kasus dimana suami tidak mau
mengucapkan ikrat talak terhadap termohon ( istri) yaitu dengan mengabulkan
eksekusi yang dimohonkan oleh termohon (istri), dan pada amar putusan
Pengadilan bahwa sita jaminan telah dinyatakan sah dan berharga.
Harta bersama adalah masuk dalam hukum
kebendaan yang tunduk sepenuhnya pada hukum eksekusi, oleh kaena itu tindakan
Pengadilan dalam mengabulkan permohona eksekusi harta bersama dari pemohon
eksekusi ( istri ) didasarkan atas alasan atau pertimbangan hukum sebagai
berikut :
a.
Adanya
azas persamaan kedudukan didalam hukum
Sesungguhnya
keadilan itu dapat diwujudkan dengan menyampaikan setiap yang hak kepada yang
berhak dan melaksanakan hukum –hukum yang telah di syariatkan serta dengan
menjauhkan hawa nafsu melalui pembagian yang adil diantara sesama manusia .
(Sayyid Sabiq, 1992 ) lebih lanjut bahwa menegakkan keadilan dan kebenaran dapat menebarkan ketentraman, meratakan
keamanan, memperkuat hubungan-hubungan antara individu dengan individu lain,
memperkokoh kepercayaan antar penguasa dan rakyat, dan yang dimaksud penguasa
disini adalah lembaga Pengadilan terutama hakim yang memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karenanya
memberikan hak kepada orang yang berhak merupakan kewajiban dari system
peradilan, sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat ( 1) UUD l945 ,jo. Pasal 58
UU.No. 3/2006, yaitu segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Dan dalam kalimat yang hampir sama yaitu Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Kalau
dikatakan bahwa suami istri mempunyai hak yang sama dan seimbang didalam
pergaulan hidup di masyarakat, maka seharusnya jangan sampai hak istri untuk
dapat menikmati hak-haknya mendapat hambatan, karena masing-masing mempunyai
persamaan di dalam hukum. Atas dasar pasal 27 ayat ( 1 ) UUD 1945 Indonesia
telah meratifikasi beberapa konvensi Internasional yang bertujuan menghapus diskriminasi dan
meningkatkan status perempuan yaitu Konvensi Internasional yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia adalah Konvensi ILO nomor 100 tentang upah
yang sama, tentang pekerjaan yang sama nilainya ( UU.No. 80/l957 ), Konvensi
PBB tentang hak politik perempuan ( UU.No. 68/1956 ) , Konvensi tentang
penghapusan terhadap perempuan ( UU.No. 7/1984 ).
Perbedaan
gender sebetulnya tidak ada masalah selama tidak melahirkan ketidak adilan
gender , namun ternyata perbedaan gender baik melalui mitos-mitos, sosialisasi,
kultur, dan kebijakan Pemerintah telah melahirkan hukum yang tidak adil bagi perempuan ( Agnes Widanti, 2005 : 20 ).
Melihat kenyataan diatas, sampai kapan pihak istri dapat mempunyai kedudukan
yang sama haknya dengan suami kalau tidak melalui putusan-putusan Pengadilan.
Oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pada azas kedudukan dan
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maka layak Pengadilan Agama
mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama yang diajukan oleh istri.
Demikian
juga apabila seseorang mendakwakan haknya kepada orang lain, sedang dia
mengajukan saksi-saksi untuk itu, dan hakim memutuskan hak itu baginya maka
sesungguhnya halal baginya untuk mengambil hak (
eksekusi ) ini, jika bukti ini bukti yang benar. Hindun pernah mengadu
kepada Rasulullah SAW. Banwa Abu Sufyan
(suaminya) itu seorang laki-laki yang bakhil, apakah dia boleh mengambil
hartanya tanpa seijin darinya, maka Rasulullah menjawab:
خذ
ي ما يكفيك وولدك با لمعروف : artinya, ambillah harta darinya yang
mencukupi engkau dan anakmu dengan cara yang baik ( Sayyid Sabiq, 1992 : 151 ).
Dari jawaban Rasulullah terhadap Hindun diatas, dapat dimengerti bahwa, istri
berhak untuk mendapatkan hartanya ( nafkah, harta bersama dan sebagainya ) yang
menjadi hak para pihak tanpa harus menunggu terjadinya perceraian terlebih
dahulu. Hal yang demikian berarti yang dilakukan Hindun telah sesuai dengan
Putusan Pengadilan yang mengabulkan permohonan eksekusi harta bersama dari Penggugat
rekonpensi (istri) sekalipun antara suami istri secara yuridis masih terikat
dalam perkawinan, tetapi secara factual tidak mungkin akan hidup rukun kembali
dalam rumah tangga ( pasal 19 huruf (f) PP.No.9/1975 , jo. Pasal 116 huruf ( f)
Kompilasi Hukum Islam. Juga penolakan eksekusi berakibat tidak adanya kepastian
hukum dan keadilan, hal ini bertentangan dengan kaidah fiqh yang menyatakan : لا
ضرر ولا ضرار artinya
tidak boleh memadlorotkan diri sendiri dan tidak boleh memadlorotkan kepada
orang lain ( Djazuli, 2005 : 110 ).
Kaidah tersebut juga
menjadi landasan bagi larangan dan pencegahan perbuatan yang membahayakan serta
landasan keharusan menentukan sesuatu yang maslahat dalam bentuk mengambil
manfaat ( Juhaya S. Praja , 1993 : 193 ). Suami istri yang telah nyata-nyata
tidak dapat mempertahankan rumah tangganya, demikian pula harta bersama yang
sudah tidak menjadi hak suami lagi dan sudah beralih menjadi hak orang lain,
maka mempertahankan hak milik orang lain, sedang orang lain tersebut sangat
membutuhkannya maka sangat bertentangan dengan kaidah diatas karena jelas akan membuat orang lain hidup menderita
apalagi kalau anak-anak memilih ikut tinggal bersama ibunya setelah terjadi
perceraian.
Disamping kaidah diatas
juga berdasarkan kaidah lainnya ,yaitu :
تصرف
الامام علي الرعية منوط بالمصلحة artinya, kebijakan pemimpin dalam urusan public harus berorientasi pada kemaslahatan.
Berdasarkan kaidah ini dapat dipahami bahwa pertimbangan Pengadilan Agama
mengabulkan tindakan eksekusi harta bersama adalah semata-mata untuk melindungi
pihak yang berperkara agar tercipta kemaslahatan bagi pihak yang berperkara terutama
agar sesuai dengan tujuan bahwa putusan Pengadilan benar-benar berguna bagi
pencari keadilan. Karena keadilan adalah hak bagi semua manusia baik kawan
maupun lawan, orang yang baik maupun
orang yang jahat akan mendapat
perlakuan yang adil dari hakim. Islam menganggap keadilam kepada musuh lebih
dekat kepada taqwa ( QS. 5 : 8), keadilan harus selalu dilakukan dan ditegakkan
( QS. 16 : 102 , QS. 4 : 135 ). Semua Rasul membawa tugas agar kehidupan
manusia berjalan dengan adil ( QS. 57 : 25 ). Islam tidak membenarkan perlakuan
sewenang-wenang si kuat terhadap si lemah ( Rahmat Djatnika : 1994 : 149 ).
b.
Menegakkan
hukum dan keadilan
Oleh
karena tujuan Peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan maka hakim harus :
(1) Mampu menafsir Undang-Undang secara
actual, agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan
perkembangan kondisi, waktu dan tempat, termasuk diterapkan sesuai dengan
tuntutan kepentingan umum dan kemaslahatan masa kini. (2). Berani berperan
mencipta hukum baru, dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur
permasalahan tentang sesuatu kasus konkreto, seperti permohonan eksekusi harta
bersama dimana Pemohon tidak mau mengucapkan
ikrar talak terhadap Termohon , belum ada aturan hukumnya sampai saat ini maka
Hakim harus berperan mencipta hukum baru yang disesuaikan dengan kesadaran
perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal itu dapat diwujudkan Hakim dengan
jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat. Dalam penyelaman tersebut,
Hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau azas-azas hukum baru. Akan tetapi
dalam hal inipun harus beranjak dari common basic idie (landasan cita-cita umum
) falsafah bangsa dan tujuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)
Berani berperan melakukan CONTRA LEGEM , yaitu Hakim harus berani menyingkirkan
pasal undang-undang yang tidak sesuai lagi dengan rasa kebenaran dan keadilan.
Hal ini dilakukan setelah Hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal
tersebut bertentangan dengan ketertiban dan kemaslahatan umum, karenanya
Hakim harus mengesampingkan pasal
tersebut, berbarengan dengan itu Hakim boleh mencipta hukum baru atau
mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis. (4) Mampu
berperan mengadili secara kasuistik . yaitu Pengadilan/Hakim harus mampu
mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya ,oleh karenanya harus mampu
berperan mengadili perkara case by case, tidak dibenarkan membabi buta
mengikuti putusan yang sudah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular
reason ) yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan, sebab dalam kenyataan
tidak ada perkara yang persis sama. Dari penjelasan diatas peran Hakim sangat
dominan dalam menafsir, mencipta hukum baru, mencari azas –azas baru, melakukan
contra legem dan mengadili secara kasuistik.
C . KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian yang penulis kemukakan diatas maka dapat disimpukan sebagai berikut :
1.
Bahwa
pertimbangan hukum Pengadilan Agama dalam mengeksekusi harta bersama atas
putuan cerai talak yang sudah berkekuatan hukum tetap, sekalipun Pemohon (suami
) tidak mau mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon (istri) adalah:
(a), Dengan melakukan CONTRA LEGEM terhadap pasal 70
ayat (6) UU.No.50 Tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas UU.No.7/1989 tentang Peradilan Agama.
(b)
Dengan memberlakukan hukum eksekusi dan
azas-azas eksekusi .
(c) Dengan mendasarkan adanya amar putusan
Pengadilan Agama yang menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut .
(d) Untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum, terutama untuk menyelamatkan harta
bersama yang menjadi hak Termohon.
2.
Bahwa Pengadilan
Agama disamping harus berani melakukan contra legem terhadap pasal 70 ayat (6)
UU.No.50 Tahun 2009 ,juga harus dapat mencipta hukum baru, menafsir
Undang-Undang secara actual agar putusan Pengadilan Agama memenuhi rasa
keadilan dan kemaslahatan bagi para pihak.
PENUTUP
Suatu
hal yang sering terjadi di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara cerai talak yang direkonpensi dengan
harta bersama banyak hambatan dalam eksekusinya namun karena eksekusinya
menyangkut hal kebendaan (zaak ) khususnya naharta bersama , maka dibutuhkan
keberanian untuk mengesampingkan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan
yang sudah tidak layak untuk diterapkan . dan
kembali mempertahankan hukum yang lama yang masih sesuai serta
menerapkan hukum baru yang lebih maslahat
( المحا
فظة علي القديم الصالح والاْخذ بالجد يد
الاْصلا ح ).
Demikian
uraian tentang “Pertimbangan Hukum Pengadilan Agama Dalam Mengeksekusi Harta Bersama
Atas Putusan Cerai Talak” , semoga tulisan ini ada guna dan manfaatnya, segala
kritik dan saran sangat penulis harapkan dari para pembaca, terimakasih,
Wallohu a’lam bisshawwab.
Blitar, 09 Juni 2014
Penulis
Drs. H. SUDONO, M.H.
DAFTAR PUSTAKA
*) adalah Hakim Madya Muda pada Pengadilan Agama Blitar
kelas
IA.
Agnes Widanti, 2005, Hukum
Berkeadilan Jender, Buku Kompas, Jakarta.
Abdul Wahab Khollaf, l977, Ilmu Ushul
Fiqh, Darl Fikr, Beirut Lebanon.
Cholidur Azhar, 1997, Dalam
Mimbar Hukum No. 32 thn.VIII/l997, Al Hikmah, Ditbinbaperais,
Jakarta.
Djazuli, 2005, Ilmu
Fiqh, Penggalian , Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam , Kencana
, Jakarta.
Hensyah Syahlani, l993,
Penemuan dan pemecahan masalah Hukum Dalam Peradilan Agama,
Mahkamah Agung RI, Jakarta.
Mahkamah Agung RI. 1998,
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II
cet,III Mahkamah Agung RI., Jakarta.
M. Yahya Harahap, l993,
Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
Jakarta.
----------, l993, Ruang
Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang perdata, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
----------, 2006, Hukum
Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
----------, l987, Permasalahan
dan Penerapam Sita jaminan (Conservatoir Beslag ), Pustaka ,Bandung.
Sayyid Sabiq, l992,
Fiqhus Sunnah, Juz II, Darl Fikr, Beirut Lebanon.
Sudikno Mertokusumo,
l988, Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bekti, Yogyakarta.
----------, l993
Bab-Bab Tentang penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bekti, Yogyakarta.
Tim PPHIM,
PTA.Makassar, 2005, Suara Uldilag No.6/2005,Pokja perdata Agama MARI,
Jakarta.
Wahbah Azzuhaili, l986,
Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu,Darl Fikr Beirut,Lebanon.
Drs. Sudono, MH. ,
Eksekusi Putusan Cerai Talak dan Implikasi Hukumnya Terhadap Harta Bersama,
Tesis, Universitas Islam Malang, 2007.